Senin, 17 Februari 2014

uu no 46 tipikor


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2009
2009
TENTANG
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum
yang bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang tertib, sejahtera, dan berk
eadilan
dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa tindak pidana korupsi telah menimbulkan
kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat
,
bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan
secara terus-menerus dan berkesinambungan yang
menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik
kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber day
a
lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan
perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dal
am
sistem hukum nasional;
c.
bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar
pembentukannya ditentukan dalam Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentanga
n
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi
a
Tahun 1945, sehingga
perlu diatur kembali Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dengan undang-undang yang bar
u;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membent
uk
Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Koru
psi;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan
ayat (2),
Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Das
ar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang . . .
- 2 -
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
3.
Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indone
sia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 33
16) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undan
g
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958);
4.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indones
ia
Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indones
ia
Nomor 4379);
5.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negar
a
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150);
6.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negar
a
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
7.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
8.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indone
sia
Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4401);
Dengan . . .

UU NO @ TAHUN 2004 PPHI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila;
b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan
industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan?ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3327);
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja
bersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
8. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi
adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada
Pengadilan Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang
pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan
organisasi pengusaha.
20. Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Pasal 3
(1)
(2)
(3)
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upayaupaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penye-lesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian
perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 6
(1)
(2)
Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya
memuat :
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
perundingan.
Pasal 7
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama
yang ditandatangani oleh para pihak.
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat
dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri
tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang
berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.
Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. m e nguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi.
Pasal 11
(1)
(2)
(1)
(2)
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang
ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
(3)
(1)
(2)
(3)
perundang-undangan yang berlaku.
Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 13
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para
pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Pasal 14
(1)
(2)
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para
pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator
serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1)
(2)
(3)
Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh
konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para
pihak.
Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan
disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan
pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1)
(2)
Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi
syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. m emiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun;
h. m en guasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus
sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambatlambatnya
pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang
konsiliasi pertama.
Pasal 21
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undangundang
ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(1)
(2)
Pasal 23
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka :
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3)Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan
eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Pasal 24
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah
(1)
(2)
satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
Pasal 26
(1)
(2)
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimak-sud dalam ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh
Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi
konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
Pasal 30
(1)
(2)
Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 31
Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti
kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurangkurangnya
5 (lima) tahun.
Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan
atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase,
dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1
(satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
sekurang-kurangnya memuat :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil
putusan;
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih.
Pasal 33
Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak
memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau
beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya
3 (tiga) orang.
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka
para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat(
1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter
(majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih
seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja,
sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk
dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat
sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan secara tertulis.
Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak
Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri.
Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
diberikan.
Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak
mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1)
(2)
Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para
pihak yang berselisih.
Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil
keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya;
dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
berselisih.
Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya
dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari
perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani
surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus
tersebut.
Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter
dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
Pasal 36
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia,
maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan
kepada pihak yang memilih arbiter.
Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan
diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter
pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.
Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk
arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja.
Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak
atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada
Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti
dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat
pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan
melanjutkan penyelesaian perkara.
Pasal 38
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian
arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri
apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila
terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah
satu pihak atau kuasanya.
Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat
diajukan perlawanan.
Pasal 39
Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada
arbiter yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambatlambatnya
3 (tiga) hari kerja setelah penanda- tanganan surat
perjanjian penunjukan arbiter.
Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu)
kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pasal 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis
arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain.
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus.
Pasal 43
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya
tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil
secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan
perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter
dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah
satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir
walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis
arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter
atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya
tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal 44
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus
diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta
Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan
arbiter atau majelis arbiter.
Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
arbiter mengadakan perdamaian.
Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilakukan sebagai berikut :
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk
mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
(5)
Pasal 45
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk
menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing
serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan
pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbiter.
Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk
mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti
lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 46
Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih
atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing.
Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan
pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli
dibebankan kepada pihak yang meminta.
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan
kepada pihak yang meminta.
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta
oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita
acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan
umum.
Pasal 50
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Putusan arbitrase memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
para pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para
pihak yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter
dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
berlakunya putusan.
Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja harus sudah dilaksanakan.
Pasal 51
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para
pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan
tetap.
Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
arbiter menetapkan putusan.
Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar
putusan diperintahkan untuk dijalankan.
Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat
(3)
(4)
dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Pasal 52
(1)
(2)
(3)
Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya
putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial;
atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan
melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum
apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan
berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undangundang
ini.
Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak
yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang
nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 59
(1)
(2)
(1)
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota
yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi
propinsi yang bersangkutan.
Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
terdiri dari :
(2)
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung
terdiri dari :
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi
Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat
dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1)
(2)
(3)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri
atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana
Hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima)
tahun.
Pasal 65
(1)
(2)
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut
:
? Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada
dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan
tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.?
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
b. kepala daerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara;
h. mediator;
i. konsiliator;
(2)
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
pengusaha.
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-
Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1)
(2)
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas)
bulan;
d. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam
puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi
pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g. telah selesai masa tugasnya.
Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu)
bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah
Agung.
Pasal 69
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1),
dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia.
Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima)
orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari
unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai
dengan kewenangannya.
Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan
kewenangannya.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran
kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran
kepada Hakim Kasasi.
Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan
Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan
memutus perselisihan.
(4)
(5)
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian
dengan hormat, pemberhentian dengan tidak
hormat, dan pemberhentian sementara Hakim
Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim
Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur
dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1)
(2)
(1)
(2)
Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera
Pengganti.
Pasal 75
Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
mempunyai tugas :
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial;
dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku
perkara.
Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,
dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan
sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan
putusan.
Pasal 77
(1)
(2)
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1)
(2)
(1)
(2)
Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam
Berita Acara.
Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditandatangani
oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat
lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang
kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau
diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 83
(1)
(2)
Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui
mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial
wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat.
Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat
kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan
gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara
kolektif dengan memberikan kuasa khusus.
Pasal 85
(1)
(2)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum
tergugat memberikan jawaban.
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu,
pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti
dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan
Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan
hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.
Pasal 88
(1)
(2)
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis
Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan
2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa
dan memutus perselisihan.
Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatan-nya diusulkan oleh serikat
pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang
pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(1)
(2)
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan
sidang pertama.
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau
melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman
di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
kesaksiannya di bawah sumpah.
Pasal 91
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
diperlukan.
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan
seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka
harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat (1).
Pasal 93
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penundaan.
Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur,
akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat
memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal 95
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
menetapkan lain.
Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata
tertib persidangan.
Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas
perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak
pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera
menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
(2)
(3)
(4)
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan
pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga
dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan
Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial.
Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau
salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak
yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasanalasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau
salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan
Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkannya permohonan tersebut.
Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 99
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan
waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang-kan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.
Pasal 101
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada
Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan
kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 102
Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau
tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/
tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang
memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau
tidak hadirnya para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari
kerja terhitung sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera
Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada
pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan
putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya
diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir
dan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja :
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam
sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan
kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan
kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1)
(2)
Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat
dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri
Sipil.
Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
(1)
(2)
(3)
(4)
ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera
yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 117
Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para
pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf
e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan
setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang
ditanganinya.
Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator
diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai konsiliator dalam hal :
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan/atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (3).
Pasal 119
(1)
(2)
Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan sementara sebagai arbiter.
Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), baru dapat
dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang
(3)
(4)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
sedang ditanganinya.
Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai arbiter dalam hal :
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan
arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui
kekuasaannya, bertentangan dengan per-aturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf
d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan
peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal
arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
Pasal 121
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3),
dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana pelanggaran.
(2)
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1)
(2)
Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan
undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan
hubungan kerja yang telah diajukan kepada :
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
Agung.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1)
(2)
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka :
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
c. dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan
Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundangundangan,
Lambock V. Nahattands